Hari yang ditunggu-tunggu oleh Manda akhirnya datang juga. Sekarang dia telah menjadi wisudawati di sekolahnya, SMK Harapan Siswa. Tidak terasa tiga tahun sudah ia belajar keras menuntut ilmu demi menggapai cita-citanya. Selama tiga tahun itu juga dia bersahabat dengan seorang laki-laki yang memiliki tubuh tinggi, rambut agak berjambul di depan, dan berbadan tegap. Dia bernama Willy. Sejak setahun lalu, ia merasa ada yang berbeda dengan status persahabatan mereka. Seolah ada perasaan yang tersimpan dalam hati Manda. Ada perasaan yang sangat berbeda. Perasaan lebih dari sekedar sahabat. Tidak seperti biasanya. Setiap dia bertemu dengan Willy, hati nya selalu berdebar-debar. Dia selalu nyaman saat ada di dekatnya. Bau parfumnya yang hangat, harum, maskulin, dan membuat hatinya luluh. Semua itu telah ia rasakan. Sifatnya yang sabar, tidak pernah marah, dan penyayang terhadap semua teman-temannya. Tapi perasaan ini tidak mudah begitu saja ia utarakan.
Setiap kali Willy berbincang-bincang dengan
teman perempuan sekelas ataupun adik kelasnya, dia selalu merasa sedikit
cemburu. Willy juga sifatnya tidak pernah macam-macam. Dia sangat berpendidikan
dan selalu menghargai perempuan. Itulah yang menjadi nilai plus bagi Manda. Ia
sempat berpikir akan mengutarakan perasaannya ini. Namun ia selalu merasa ragu
melakukannya. Dia mengira kalau itu tidak mungkin sekali.
Tetapi pada akhir wisuda, wajah
Manda terlihat sedikit murung. Dia pernah dengar bahwa Willy akan melanjutkan
studinya ke Belanda. Dia selalu ingat ucapan Willy waktu itu. Disana dia akan
tinggal bersama paman dan bibinya.
Setelah turun dari mobil yang
diparkir di depan rumah Manda, Willy tetap melihat wajah murung Manda.
“Emm.. Wil,” dengan gugup Manda memulai
bicara. Apa..kamu jadi ngelanjutin kuliah ke Belanda?” tanyanya dengan suara
pelan.
“Sepertinya sih gitu,” jawab Willy
dengan wajah serius. “Aku sangat tertarik dengan kampus disana. Ada salah satu
kampus yang bagus banget. Program studinya sesuai sama keahlian aku. Om Randy
ngerekomendasiin kampus ini karena koleganya ada yang kerja disitu,” Willy
dengan antusias menceritakan ambisinya untuk melanjutkan kuliah disana. Manda
dengan cueknya mendengar sambil meniupkan poni rambutnya yang tipis hingga terbang
terangkat dari dahinya.
“Kan disini juga banyak kampus yang
bagus. Kok kamu bela-belain pergi kesana sih?”, tanya Manda sedikit merajuk.
“Man, kamu pernah denger kan pepatah
bilang, ‘tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina’. Jadi kita wajib dong menuntut
ilmu setinggi-tingginya,” Willy melanjutkan tertawa kecilnya. “Dan aku emang excited banget buat kuliah disana. Kita
bisa belajar sambil kursus bahasa juga. Biar lancar berkomunikasi.”
Tatapan Manda sedikit kosong. Willy
memang sosok lelaki yang tepat di hatinya. Ditambah lagi Willy memang suka
belajar dan ingin selalu mencoba hal-hal baru. Jadi wajar juga Willy memiliki
keinginan seperti itu. Tapi dia selalu bingung untuk mengungkapkan perasaannya.
Tapi ia yakin kalau ia memang mencintai Willy.
Keesokan harinya Willy datang ke
rumah Manda. Pagi-pagi ia datang tanpa sepengetahuannya. Dengan pelan ia
langsung membuka pintu kamar yang penghuninya masih tertidur lelap itu.
Dilihatnya sekeliling kamar yang penuh dengan pernak-pernik berwarna merah
jambu. Manda memang penggemar warna itu. Soft,
calm, dan sweet. Bau kamarnya yang hangat menjadi ciri khas cewek berambut
pendek itu. Pada dinding di atas tempat tidurnya terpampang poster taman bunga
tulip yang sangat indah. Manda memang suka sekali dengan bunga tulip. Manda
tiba-tiba mengernyitkan keningnya. Dia berusaha membuka matanya yang terlanjur
silau terkena cahaya. Sontak ia terkejut melihat siluet bayangan laki-laki yang
sudah berada tepat di depan jendela kamarnya. Tetapi ia dengan cepat mengenali
sosok lelaki itu.
“Oh
my God! Ya ampun, Wil...?!”, Manda kaget sambil menutupi kepalanya dengan
selimut. “Aduh..aduh..kok kamu tiba-tiba ada disini? Gila kamu, aku pikir mama.
Duh, kamu nih. Bikin kaget aja.”, Manda terlihat gugup dan malu bila Willy
melihat wajahnya yang acak-acakan saat bangun tidur. Willy hanya tertawa
melihat tingkah laku sahabatnya yang lucu itu.
“Gila nih orang. Masuk kamar nggak
ketuk pintu dulu main nyelonong aja,” Manda berupaya merapikan rambutnya yang
sedikit acak-acakan. “Kamu kok tumben kesini pagi-pagi banget. Emangnya ada
apa? Terus Mama sama Papa tahu kamu ada disini?”, Manda masih duduk di atas
tempat tidurnya dengan wajah yang sedikit mengantuk.
“Ya tahu dong. Aku memang kesini
disuruh Mama nganter sesuatu buat Tante Vina,” Willy langsung menarik sebuah
kursi dekat meja dan mengambil sebuah majalah yang ada di atas meja belajar
Manda.
“Huhhh!!!,” Manda tak kalah
jengkelnya melihat ulah sahabatnya itu. Ia langsung bergegas menuju kamar mandi
tanpa menghiraukan pria yang semakin hari semakin tampan itu menurutnya. Tapi
di sisi lain, ia selalu semangat saat berada di sampingnya. Di dalam kamar
mandi, Manda langsung melihat wajahnya di depan cermin. Dia merasakan
jantungnya berdegub lebih cepat tidak seperti biasanya. “Oh, Lord..! Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Perasaan ini
memang ada,” ia berkata pada diri sendiri dengan pelan sambil menghadap cermin
kamar mandi.
Setengah jam lamanya Manda berada di
kamar mandi. Willy tampak bosan menunggu. Ditaruhnya kembali majalah yang sudah
ia baca ke tempat semula. Kemudian tidak sengaja ia melihat sebuah buku
berukuran sedang berwarna merah muda yang berada pada sudut meja belajar Manda.
Sampulnya mengkilat bermotif bunga-bunga tulip kecil nan lucu. Pada sudut buku
tertulis ‘My Diary, My Little Angel’.
Tanpa berpikir panjang, Willy segera mengambil buku itu.
“Maaann.. Aku pulang dulu yaa?!”,
Willy sedikit berteriak sambil mendekatkan diri ke arah pintu kamar mandi.
“Loh..kok cepet banget sih?,” suara
Manda terdengar menggema.
“Soalnya nanti Om Randy mau telfon
ke rumah terkait studiku dua bulan lagi,” Manda yang sedang mengeringkan
rambutnya dengan handuk tercengang kaget mendengar Willy berkata seperti itu.
Hilang sudah semangatnya yang menggebu-gebu pagi ini. Teringat kembali ia akan
ditinggal jauh oleh laki-laki yang ia sayangi itu.
“Emm. Iya deh..,” jawab Manda pendek
dengan muka ditekuk di depan cermin kamar mandi. Dihembuskannya poni tipis yang
terurai di depan dahinya. Tanda ia sudah agak berputus asa. Ia langsung keluar
dari kamar mandi dan segera menuju jendela kamarnya. Ia melihat ke bawah
memastikan apakah Willy benar-benar pulang. Dilihatnya sosok jangkung itu
menuju pintu gerbang dimana ia memarkir motornya. ‘Kenapa sih kehadiranmu selalu membuat aku nyaman?’ Manda bergumam
dalam hati.
Willy segera bergegas menuju kamarnya. Ia
seolah penasaran dengan isi dari buku kecil yang diam-diam ia bawa tadi. Ia
terlihat memeriksa di sekeliling buku itu. Cukup susah untuk membukanya karena
terdapat gembok kecil pada tepian buku. Dicobanya ia membuka dengan jarum.
Tidak bisa. Ia coba dengan alat apa saja yang sekiranya dapat membuka kunci itu
tanpa merusaknya. Nah! Akhirnya berhasil. Dibuka lah gembok itu secara
perlahan. Dibukanya lembar pertama bertuliskan nama lengkap Manda, ditulis
dengan huruf kapital. Berlanjut pada isi dari lembar kedua. Kemudian ketiga.
Pada lembaran ini berisi puisi yang menceritakan bahwa Manda sedang jatuh cinta
pada seseorang. Pada lembar keempat isinya juga sama. Kemudian berlanjut pada
lembar ke lima, ke enam, itu tentang dua bait puisi. Selanjutnya berhenti pada
lembar ke tujuh. Willy merasakan ada sesuatu disana. Ada sebuah sketsa yang
menggambarkan seorang laki-laki memakai seragam putih abu-abu sambil meletakkan
kedua tangannya pada masing-masing saku celananya. Tepat di bawah gambar itu,
bertuliskan ‘I Love U, WP’. Willy
terbelalak melihat sketsa ini. Inisial ini sesuai dengan namanya. Willy
Pratama. Dia terus bergumam dalam hati. ‘Ah
tidak mungkin. Bisa saja ini nama inisial cowok lain. Wahyu atau Wildan atau
siapalah’. Tampaknya ia tak begitu berprasangka lebih.
Ia terus membuka lembar demi lembar.
Willy juga tidak pernah tahu apakah Manda suka pada seorang cowok atau tidak,
apakah Manda pernah jatuh cinta atau tidak. Yang dia tahu adalah Manda itu sama
sekali tidak pernah berpacaran. Willy sama sekali tidak pernah mengetahui
perasaannya ini. Rasa penasarannya memang tidak diragukan lagi. Sikapnya bisa
dilihat dari kepeduliannya terhadap Manda sebagai seorang sahabat yang sangat
dekat sekali.
Willy masih serius membaca apa yang
ada di depan matanya itu. Dibukanya lagi lembar demi lembar. Ia kaget dan tidak
menyangka. Ada sebuah foto yang tertempel pada lembar itu. Di kedua sudutnya
terdapat tanda hati merah. Ternyata foto itu adalah dirinya. Foto itu adalah
wajahnya yang sedang tertawa tanpa melihat ke arah kamera. Ia tampak sedikit
tidak menyangka sama sekali. Entah bagaimana perasaannya sekarang kalau
ternyata laki-laki yang disukai oleh Manda adalah dirinya. Sampai Manda
diam-diam mengambil gambar dirinya. Kemudian dia mngernyitkan dahi sambil
mengingat-ingat. Akhir-akhir ini Manda juga sering membuat status whatsapp tentang cinta terhadap sahabat
dan takut kehilangan seseorang yang dicintai. Willy semakin meyakini itu.
Segeralah ia mengambil kunci
motornya dan bergegas menemui sahabatnya itu. Setelah sampai, ia melihat tante
Vina sedang memasak di dapur dan tidak menyadari kalau ia datang. Barusaja ia
akan menaiki tangga, terlihat Manda sedang duduk membaca buku di kursi ayunan
belakang rumah tempat ia biasa bersantai dengan keluarga.
“Haai..!”, Willy sengaja mengagetkan
Manda.
Manda menoleh terkejut mendengar
suara itu. “Loh..Wil! Kamu kok kesini lagi sih?”, ia sedikit terbangun dari
duduknya.
“Emang kenapa? Ga boleh ya?”
“Ya enggak. Kan tadi katanya Om
Randy mau telfon kamu?”
“Barusan udah chat lewat whatsapp,
terus nanti akan dikabari lagi”, kata Willy sambil duduk di atas kursi rotan
putih yang terpisah dari kursi ayun Manda.
“Ohhh..,” Manda menanggapi dengan
singkat sambil melanjutkan membaca buku.
“Oiya, Man..,” Willy mulai membuka
pembicaraan.
“Apa?,” Manda langsung menoleh ke
arah Willy sambil mengernyitkan dahi.
“Sebelumnya aku minta maaf. Tadi
pagi aku nggak sengaja nemuin buku ini,” Willy menunjukkan buku diary kecil.
Manda sontak terkejut melihat buku itu.
“Hah?!? Itu kan buku aku Willyy..
Kenapa ada di kamu???”, wajah Manda langsung berubah menjadi merah. “Kembaliin
sini Wil??”, Manda berusaha meraih buku itu. “Duuhh.. Willy, kok bisa ada di
kamu sih?,” Manda kembali duduk di kursi ayunnya sambil menahan rasa malu
karena membayangkan kalau isi buku itu terbaca oleh Willy. “Pasti tadi pagi
kamu udah ngambil di meja aku ya tanpa sepengetahuan aku?”, Manda menebak-nebak
sambil memasang muka cemberut. Willy hanya senyum-senyum tidak jelas. “Trus
kuncinya mana? Kok udah kebuka? Kamu udah baca ya Wil? Ya ampun!” Manda salah
tingkah sambil menutupi wajahnya dengan buku yang tadi ia baca. “Oh my God, Willy!!!.”
Sekarang Manda yang tidak terlihat
santai. Matanya melotot ke arah Willy. Perasaannya bercampur aduk. Harus
bagaimana sekarang? Apa yang lebih baik dikatakan? Dalam benaknya, sepertinya
ia harus mengungkapkan. Karena waktulah yang memaksanya saat ini. “Sekarang kamu
udah tau kan isi buku itu? Ya itulah perasaanku sekarang, Wil,” Manda berusaha
untuk se-relax mungkin.”Kamu boleh gak suka, boleh mengejekku,
boleh benci sama aku karena aku berlebihan. Tapi itu emang apa yang hatiku
rasakan..sampai sekarang,” Manda tidak berani menatap Willy. Waktulah yang
memaksanya untuk mengatakan.
“Aku ga pernah benci sama kamu,
Manda. Apalagi setelah aku baca tulisan kamu ini,” Willy masih menatap cewek
penyuka warna merhah jambu itu. “Tapi ini memang benar kan perasaan kamu seperti
ini?” Willy mencoba meyakinkan.
“Trus aku harus bilang apa? Masih
kurang ya penjelasannya?” Manda sedikit cemberut karena memendam sedikit rasa malu.
Willy tersenyum kecil melihat
tingkah laku Manda. “Ya udah, kalau gitu ayo..!” Willy berkata santai.
“Ayo maksudnya?” Manda mengernyitkan
kening tanda tidak percaya sekaligus penasaran dari ajakan Willy itu.
“Kita jadian”, jawab Willy singkat.
Manda melotot lagi mendengarnya. Itu
adalah kata keramat yang belum pernah ia dengar sebelumnya. “Serius kamu?”,
Manda sedikit melotot sambil matanya berkedip-kedip seakan tidak percaya.
“Ya serius lah, emang aku keliatan
boong?” Willy memperlihatkan muka seriusnya sambil melihat Manda yang sedikit
agak bengong dengan pernyataannya. Sambil tertawa kecil, ia mengacak-acak pelan
rambut Manda. “Oke? Kita jadian ya?” wajah Willy terlihat ceria. Manda hanya
mengangguk pelan sambil tersenyum kecil dan tentunya dengan wajah yang sedikit
memerah.
**
Satu bulan telah berlalu. Willy
sudah mendapat kabar dari pamannya di Belanda terkait dengan studi yang akan ia
tempuh. Dia harus berangkat kesana enam hari lagi. Tapi sebelum itu, dia
merencanakan sesuatu untuk mengajak Manda. Sementara Manda sekarang sedang
sibuk mempersiapkan diri untuk mendaftar di kampus pilihannya, dan sedang
menunggu jadwal tes. Ia segera merundingkan rencananya dengan keluarga Manda.
Ia juga bercerita kalau ia sangat menyayangi Manda dan ingin mengajaknya
berlibur walaupun hanya sebentar sekaligus mengantarnya. Ini ia ungkapkan
karena sebentar lagi mereka akan menjalani hubungan jarak jauh selama kurang
lebih tiga tahun dan kembali ke Indonesia diperkirakan hanya dua kali dalam satu
tahun.
Akhirnya keluarga Manda menyetujui
keinginan Willy. Tante Vina berkata asalkan ia mampu bertanggung jawab untuk
menjaga anak perempuan satu-satunya itu, dan percaya sepenuhnya kepada Willy
karena ia bukan pria yang suka macam-macam.
**
Delapan
jam telah berlalu. Manda dan keluarga Willy telah sampai di bandara Schiphol
Amsterdam. Mereka dijemput oleh Om Randy dan segera menuju kediaman Om Randy.
Manda sangat senang sekali. Kali ini dia tidak menyangka sekali bahwa ia bisa
sampai di negeri Kincir Angin ini. Secepat ini. Tidak ada rencana liburan ke
sini, tahu-tahu sudah berada di sini. Perasaannya bercampur aduk. Deg-degan,
bahagia, malu, salah tingkah, dan lain-lain. Lalu Willy meminta izin kepada keluarga untuk mengajak Manda
berjalan-jalan sebentar keluar rumah. Sambil menaiki mobil kecil milik Omnya,
mereka bisa menikmati udara sore yang mulai sejuk saat itu. Manda terlihat
ceria dan sangat senang sekali. 10 menit kemudian mereka sampai pada sebuah
tempat mirip seperti sebuah alun-alun kota. Mobil Willy berhenti untuk
diparkir.
“Wil,
ini dimana? Tempat apa nih?” Manda bertanya heran sambil melihat-lihat di
sekeliling dari dalam mobil.
“Ini
adalah tempat yang terr…… Hehe, yuk kita turun dulu!,” Willy masih
sempat-sempatnya saja menggoda.
Manda terlihat
manyun tapi masih dengan rasa penasaran yang tinggi. Kemudian diajaknya Manda
melewati sebuah jembatan yang di bawahnya mengalir sungai kecil. Tak berapa
lama, Manda dikagetkan dengan pemandangan di depan matanya saat ini. Ia
benar-benar sungguh tak percaya. Sekarang ini ia melihat hamparan bunga tulip
yang berbaris rapi bak permadani. Tersusun dan dikelompokkan sesuai dengan
warnanya. Merah muda, merah, ungu, putih, dan kuning. Di sisi sebelah kiri, ada
jajaran bunga tulip merah dan ungu yang melingkar penuh dibatasi oleh sungai
kecil dan jalan setapak. Manda tercengang bahagia. Tempat yang begitu teduh dan
indah. Bunga tulip yang menjadi bunga favoritnya. Kini ia bisa menyentuhnya
secara nyata. Menikmati keharibaannya sang tulip yang selalu ada dalam beberapa
judul puisinya.
“Ya ampun
Willy..ini indah banget,” seru Manda sambil membelai beberapa kelopak bunga
tulip.
“Kamu harus tahu
Man, inilah cita-cita aku untuk membawa orang yang aku sayangi ke tempat ini.
Di saat-saat musim tulip sekarang ini,” kata Willy yang tidak kalah senangnya
dengan keindahan bunga tulip.
Mereka berdua
segera berjalan-jalan untuk menikmati warna-warni bunga tulip di sepanjang
hamparannya. Manda sesekali memfoto bunga-bunga itu, pemandangan sekitar, dan
juga berselfie ria. Sungguh
pengalaman yang menakjubkan sepanjang hidupnya. Dia berencana untuk menikmati
sepenuhnya liburan 1 minggu hanya di sini. Setelah itu, ia harus bertolak untuk
melanjutkan kuliah di Jakarta. Mereka berdua juga harus bersiap menjalani LDR
selama Willy berada di Belanda. Tapi Manda sudah yakin dan bertekad bahwa cowok
jangkung itu adalah cinta sejatinya. Cinta yang selama ini ia mimpikan. Mereka
sangat bersyukur dan berjanji untuk
selalu menjaga hati satu sama lain.
***